Elit
Semuanya sudah terlambat, kita semua kalah. Inilah akhirnya. Dunia sudah tidak terbentuk lagi. Seandainya waktu itu aku mematuhi perintah, seandainya waktu itu aku nurut. Meskipun aku tahu bahwa semua ini hanyalah propaganda kaum elit. Begitu banyak berita yang menyebar, begitu banyak konspirasi, begitu banyak kontroversi. Suara-suara jeritan yang aku dengar, berteriak menuntut keadilan, meronta-ronta, dan memberontak. Semua fasilitas milik Negara bahkan pribadi pun dirusak. Kaum elit yang bersembunyi di balik dinding, mencari cara untuk menghadapi kami yang memberontak. Semua diambil, direbut, dirampas dari kami, bahkan kebebasan!
Virus yang dibentuk untuk memusnahkan sepertiga manusia pun gagal. Senjata biologis itu semakin kuat. Pemerintah sudah tidak sanggup, dokter dan ahli kesetahan semakin berkurang jumlahnya. Bahkan rakyat jelata tidak mematuhi protocol kesehatan yang diperintahkan. Hanya kaum elit dunia yang menari-nari diatas kesengsaraan kami. Mereka seolah-olah tidak peduli akan kondisi dunia. Yang mereka pikirkan hanyalah diri mereka sendiri, diri mereka sendiri!
Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan selain menampung anak-anak terlantar di pinggir jalan. Mereka menangis, mereka menjerit. Dengan lutut yang berdarah, siku yang lecet mereka hanya bisa menangis menatapi mayat yang tergeletak. Dunia sudah hancur. Orang-orang yang tidak bersalah ditembaki oleh mereka. Aku pun dendam, aku pun geram.
“Kaum elit itu!
“Akan ku buat mereka menyesal!” teriakku dalam hati.
Aku pun mengambil anak-anak itu, kubawa ke sebuah barak yang menjadi tempat persembunyianku. Sumpah aku akan membalaskan dendam ini. Walaupun hanya dengan senjata yang aku curi di pangkalan militer dan baju APD yang mulai lusuh, akan aku perjuangkan hak-hak kaumku. Setidaknya aku masih memiliki stok APD yang mencukupi untuk menjalankan keseharianku yang suram ini. Dengan berbekal ilmu kedokteran yang aku anut semasa kuliah, aku mengobati anak-anak itu, aku beri mereka antibiotic, aku basuh luka-luka mereka dan membiarkan mereka beristirahat.
“Akan aku didik mereka supaya menjadi kuat.” Gumamku.
“Oh tidak… stok makanan mulai habis, aku harus mencarinya lagi.” Saat kubuka lemari dan melihat sisa makanan yang hamper habis, aku langsung bersia-siap untuk keluar.
“Hey… Roni, mau kemana kau?” tiba-tiba sebuah suara memecah kesunyian di barak, aku pun kaget dan sontak menoleh ke belakang.
“Oh Karl, kau membuatku kaget. Aku mau pergi sebentar untuk mencari makanan dan beberapa obat untuk aku berikan ke anak-anak itu.”
“Apa?? Jangan bilang kamu memungut anak jalanan lagi?” dengan ekspresinya yang heran, Karl bertanya kepadaku.
“Yup, tentu saja!” kataku.
“Aku ingin mendidik mereka supaya menjadi kuat seperti kita! Siapa tahu mereka yang mungkin mengalahkan kaum yang songong itu.”
“Kau ini bocah yang penuh mimpi ya… kalau gitu jangan pergi tanpa aku, aku ikut!”
Karl bersikeras. “Tunggu aku!”
Di sepanjang jalan aspal yang retak, aku dan Karl mengelilingi tempat-tempat dimana kami bisa menemukan makanan dan alat-alat pertolongan pertama. Begitu banyak bangunan-bangunan yang hancur berantakan akibat ulah pemberontak. Sembari menyusuri puing-puing bangunan yang terlihat seperti mall, mataku tertuju pada sebuah bercak darah. Aku berkata pada Karl untuk segera memungut segala makanan dan obat antibiotic yang ada, sementara aku mengikuti jejak bercak darah tersebut. Aku mengikuti kemana tetes-tetes darah itu mengarah.
Mengendap-endap bak singa yang ingin menangkap musuhnya. Saat ku mulai mendekat, kulihat darah tersebut masih mengalir dari arah lorong yang gelap. Tiba-tiba…
“Roni! Apa yang kau temukan disana? Aku sudah mengumpulkan cukup makanan buat kita semua!”
Dengan mulut yang mengunyah sepotong roti, suara Karl bergema di gedung yang setengah hancur itu.
“Ah… Karl, kamu mebuatku kaget! Bisakah kau tenang sedikit?”
Kami berdua melanjutkan untuk melihat darimana asal darah itu.
“Ohh…. Mengenaskan sekali.” Karl berbicara.
Kami melihat ada sebuah mayat yang tergeletak di tembok sebuah lorong yang gelap. Badannya babak belur, tulang lututnya retak, kepalanya pecah. Mayat itu berusia sekitar awal tigapuluhan. Di tangannya aku menemukan foto kecil nan lusuh seorang wanita yang sedang menggandeng anak laki-laki kecil.
“Sepertinya dia dianiaya sebelum akhirnya dibunuh, luka lebamnya sudah berbekas agak lama tapi darahnya masih segar. Dia baru mati beberapa jam yang lalu dengan hantanan benda tumpul di kepala dan tusukan benda tajam diarah perut dan dada kiri. Dan bisa disimpulkan dari foto yang ia genggam bahwa dia adalah seorang ayah.” Aku memberitahu apa yang bisa aku analisis dari mayat tersebut kepada Karl.
Karl yang mendengarnya membuat ekspresi wajah yang kagum dan bangga seolah-olah melihat anaknya bisa bersepeda roda dua. Aku pun kebingungan dan bertanya –tanya.
“Mengapa kau menatapku seperti itu Karl?”Karl menjawab.
“Kau benar-benar mirip seperti ayahmu. Tidak hanya wajah seriusmu, tapi juga sifatmu. Ini mengingatkan ku saat pertama kali aku dan ayahmu tugas pertama kali di Lebanon sebagai pasukan Garuda. Dia sangat serius dan jenius dengan ilmu kedokterannya. Tapi sayang, dia…” Sebelum dia selesai berbicara, aku membungkam mulutnya. Aku tidak ingin mendengarnya.
“Aku tidak suka cerita itu, kenapa kau membuatku mengingat cerita itu. Aku hampir melupakannya.” Aku berbicara kepada Karl dengan suara serak sembari menahan rasa sakit di dadaku saat aku mengingatnya.
“Kau harus kuat Roni, jangan menangis. Ini bukan waktu yang tepat. Jangan menunjukan kelemahanmu di depan orang lain”
Karl langsung paham, ia meminta maaf kepadaku.
“Maafkan aku Roni, aku lupa tentang itu.” Suasana yang canggung mendekap sementara.
Tiba-tiba kudengar ada sebuah suara seperti bisik-bisik dan menatap kearah kami. Setelah aku sadari bahwa kami tidak sendirian, ada orang lain disini!
Aku dan Karl yang mendengar suara tersebut langsung bergegas, kami tidak ingin mati mengenaskan seperti mayat tadi.
“Heii…!! Berhenti disana! Serahkan senjata dan semua harta benda milikmu!!”
Aku melongok, ternyata itu adalah seseorang yang sama seperti kami, dia juga sedang bertahan hidup, dia kaum bawah. Aku yakin dia yang membunuh laki-laki tadi. Kulihat dia membawa tongkat baseball dan berlari mengejar kami. Saat kusadari bahwa ia tidak sendiran, aku menambah kecepatan lariku. Ternyata mereka berkelompok, dari bayang-bayang ekor mataku yang sekilas menoleh belakang aku memperkirakan jumlah mereka ada sekitar lima sampai enam orang. Entah darimana mereka datang, mereka semua berlari mengejar kami. Tempat persembunyian kami tidak boleh sampai diketahui. Akhirnya aku memutuskan untuk melawan mereka. Aku menyuruh Karl untuk terus berlari sementara aku menghadang mereka.
Saat ku pikir Karl sudah lari menjauh, ternyata ia hanya menyembunyikan makanan kami dan kembali untuk membatuku melawan mereka. \
“Kau kembali?” tanyaku.
“Ya, tentu saja dong, kau adalah tanggung jawabku.” Kami mulai melawan mereka.
Aku sengaja menggunakan tangan kosong dan memanfaatkan benda-benda yang ada di sekitarku, Karl juga melakukan hal yang sama. Aku melakukannya untuk menghemat persediaan peluru di senapanku, lagipula kekuatan mereka tidak seberapa. Mereka hanya mengandalkan benda tajam yang dibawa. Tidak butuh waktu lama buat kami menumpas mereka. Saat mereka telah jatuh pingsan, aku dan Karl memungut barang berharga yang dikantungi oleh mereka. Beruntungnya aku, mereka memiliki beberapa peluru yang cocok dengan senapan kami dan dua bilah pisau saku berkualitas unggulan.
“Wow, kau ternyata masih kuat juga ya… aku pikir kau akan encok tadi.” Aku bergurau.
“hei hei…. Ada-ada saja kau, jangan ragukan kekuatan pak tua ini, bahkan aku masih sanggup mengikuti perlombaan angkat beban. Hahaha.” Kami tertawa dalam perjalanan pulang kami.
Saat aku kembali ke tempat persembunyianku, dari depan pintu masuk aku merasaakan perasaan tidak enak. Di depan pintu, aku melihat bahwa gembok yang di buat untuk menutup akses keluar masik pintu telah dirusak. Aku pun mengambil pistol kecil yang aku saku, sembari berjalan masuk kedalam barak.
Dengan mengendap-endap, aku memasuki lorong yang gelap menuju kamar anak-anak itu, mereka adalah sumber kekhawatiranku yang utama. Saat kulihat kedalam, ternyata mereka bukan orang asing. Mereka adalah orang yang aku kenal, yang aku benci sampai kedalam lubuk hatiku.
“Oh, hai Roni. Aku pikIr mungkin kau masih mengingatku.” Aku geram, aku marah, emosi yang meluap-luap menutupi hatiku.
Dengan berteriak, aku mendatanginya, aku berlari. Belum sempat aku sampai kearahnya dia berbicara,
“Tahan mereka.” Sekelompok orang dengan pakaian pelindung dan bersenjata lengkap menahanku dan Karl.
“Dr. Jane… Apa yang kau lakukan disini!? Bagaimana kau bisa menemukan tempat ini?” dengan amarah aku bertanya kepadanya.
“Itu gampang sekali, aku memasang GPS di salah satu anak yang kau pungut ini. Dan kau tahu, vaksin yang aku buat beberapa waktu lalu ternyata gagal. Sayang sekali anak yang menjadi tikus putihku dia mengalami kejang-kejang parah setelah aku suntikan vaksin buatanku. Kebetulan sekali, aku sedang kehabisan tikus percobaan, dan yah… aku disini sekarang, ingin mengambil mereka untuk sampel uji coba.”
Aku yang mendengar perkataan Dr. Jane itu semakin marah. Dia tidak pernah memikirkan perasaan orang lain, tidak pernah peduli sama apapun kecuali dirinya dan uang. Ya, di bekerja untuk kamu elit itu, dia ditugaskan untuk membuat sebuah vaksin yang dapat menhindarkan mereka dari virus-virus ini. Aku yakin dia melakukannya karena bayaran yang dia terima sangat besar tanpa mengetahui berapa banyak korban tidak berdosa yang jatuh di tangannya.
“Kau tahu mengapa aku mengambil mereka disini?” Perhatianku mengarah ke Dr. Jane sementara.
“Agak sulit untuk menemukan anak kecil yang berkualitas diluar sana. Aku masih bisa menemukan anak yang lain tapi, rata-rata dari mereka kekurangan gizi, kurus kering, dan penyakitan. Mereka tidak cocok untuk menjadi uji coba vaksin. Sungguh, aku berterima kasih kepadamu untuk merawat mereka dengan baik, bisa dikatakan mereka adalah kualitas terbaik. Terima kasih kepadamu karena telah merawat mereka dengan baik, sungguh mulia hatimu. Mirip seperi ayahmu yang menyedihkan itu, mati karena melindungi seorang anak kecil di medan perang.” Dengan tatapan sinisnya dia melihatku dan berkata seperti itu. aku tidak terima!.
Sungguh keji yang dilakukan manusia ini, sungguh kejam.
“Aaaarrrggghhhhhh!!!” Aku berteriak, aku memberontak, aku tidak bisa menerima dan melihat semua ini. Setiap manusia berhak untuk medapat keadilan bahkan yang ada di dalam janin sekali pun! Semua berhak untuk bebas!
Disaat yang bersamaan aku berteriak dan melepaskan diri dari orang-orang yang mencengkramku. Aku datang ke arahnya dengan megambil pisau, tapi ternyata aku kalah cepat. Aku kaget, dia tiba-tiba menodongkan pistol kecil ke arahku dan langsung menembak ke arah jantungku. Gerakanku terhenti sejenak, aku tergeletak kaku dengan darah yang bercucuran dilantai. Samar-samar ku dengar suara teriakan, suara itu ternyata suara Karl dan anak-anak lainnya yang menangis, mereka semua histeris. Aku tidak suka mendengarnya, andai aku masih bisa berbicara.
“Kabur, bebaslah, lepaskan semua bebanmu dan lari. Lari dari dunia yang kejam ini, lari sejauh-jauhnya hingga kamu lelah, larilah hingga kamu sulit untuk bernapas. Kemudian jangan toleh kebelakang, tetap pandang kedepan. Gapai cita-citamu untuk mewujudkan perdamaian dunia”. Hanya itu yang ingin aku ucapkan.
Uh, pandanganku mulai gelap, seketika aku merasakan dingin di sekujur tubuhku. Aku menoleh sedikit dengan tenagaku yang tersisa. Samar-samar ku lihat anak-anak itu dibawa, mereka dipaksa, ditarik. Aku juga melihat Karl ikut dibawa bersama mereka, dia masih memberontak. Aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan kepadanya. Apakah dia juga akanmenjadi tikus percobaan? Aku tidah tahu.
Maafkan aku ayah, maafkan aku ibu, aku gagal. Aku gagal melindungi mereka, aku tidak pantas menjadi anakmu, kalian berdua begitu berani dan kuat. Aku merasa seperti pengecut sekarang. Saat nafas ku mulai sesak, aku dihadapkan dengan pria berbaju putih. Dia mendatangiku, mengajakku bangkit.
“Ikutlah denganku, nak. Tempatmu tidak disini, dunia terlalu kejam untuk orang berhati mulia sepertimu. Akan kupertemukan kau dengan kedua orang tuamu.” katanya.
Saat itu juga aku merasakan kedamaian dalam diriku. Tapi tetap, aku merasa bersalah. Ketakutan masih menyelubungiku. Aku pun menutup mataku, masih kurasakan perlahan denyut nadiku yang perlahan mengilang. Pria itu masih ada disana, meskipun aku telah menutup mataku aku tetap bisa melihatnya.aki di angkat olehnya. Inikah akhirirnya? Sudah selsai?
Aku terus digandeng olehnya. Aku dituntun berjalan ke sebuah pintu bercahaya. Sesampainya aku melewati pintu tersebut, aku telah di sambut. Aku melihat sekeliling ruangan itu, mereka semua adalah orang-orang yang aku kenal. Bahkan ayah,ibu dan semua anak-anak yang pernah kurawat. Mereka menyambutku dengan senyuman di wajah mereka, dengan sorak- sorai, mereka berkata aku kembali. Suasana itu membuat kurindu. Aku senang, aku bahagia disini.
.
.
.
“Dok, apakah dia mati?”
“Ya, tentu saja. Ada apa?”
“Kami pikir anda juga ingin menggunakannya sebagai, umm kau tahu?”
“Tikus percobaan? saya, tapi aku berpikir lagi, dia lebih baik mati. Dia terlalu kuat jika dibiarkan hidup, kita semua bisa digulingkan olehnya”
“Ya, aku setuju kepadamu. Ayo, dok. Masih banyak yang harus kita lakukan.”
“Ayo!”
Ditulis oleh Beatrice A. Hutabarat
cerita nya menarik dan tidak terduga alur cerita nya
BalasHapus