Ujung Tanduk

    Gelap, tapi tak segelap seperti kenyataannya, mungkin itulah awal pikiranku ketika planet biru di galaksi nan luas ini sedang memulihkan dirinya. Opini individu memang tidak bisa disamakan, ketika presenter mulai membicarakan topik paling hangat di muka bumi ini. Mungkin ada yang hikikomori, ada juga yang tiba-tiba bermain menjadi Tuhan. Benar, tidak ada yang bisa melarang, namanya juga mahluk penuh hawa nafsu.

  “Gila,dunia kayak udah mau kiamat aja ya!” ujar Naufal yang otaknya sudah banyak terdoktrin dengan film-film Hollywood. Tapi,seperti pemikiranku tadi, opini tidak bisa disamakan.
  “Bisa juga sih, gak bakal bebas ini mah!” ujar aku dengan membututi ekor dari pemikiran Naufal. 
  Presenter terus mengoceh seolah kondisi saat ini memang gampang untuk mengundang Malaikat Izrail, diikuti dengan dukungan angka bernilai besar hasil pekerjaannya. Aku pun terus memandang layar 15-16 inci ini tanpa memejamkan mata sedikit pun, karena fenomena yang biasanya hanya ada di layar kaca, sekarang sudah terenterpretasikan di masa hidupku ini. Apalagi hal ini terasa asing bagiku, mungkin juga generasi milenial lainnya.
   “Diikuti dengan situasi saat ini, masker yang menjadi barang paling dibutuhkan pun akhirnya menjadi langka dan harganya melambung tinggi…”
   Presenter yang pembicaraannya tidak bisa di rem itu akhirnya berhasil menarik perhatianku, dengan cepat aku mengambil alat canggih sejuta umat yang sudah menjadi bagian dari hidup seseorang. Kubuka situs dewa yang maha segala tahu bernama google, dan mengetik pencarian “harga masker”. Dalam waktu yang tercatat 0.0000367 detik, keluar beribu-ribu artikel yang membuat mata mencari yang terbaik. Dari hasil pencarianku, aku akhirnya tahu apa yang harus dilakukan. Mungkin, orang menyebutnya dengan kata-kata sakti, seperti “dosa”. Tapi menurutku, ini adalah insting, demi bertahan hidup, sama seperti singa yang terpana melihat zebra.
 
 
    Selesai! 
   Menunggu umpan untuk dijadikan tumbal. Dari beribu-ribu opini yang menyebar layaknya penyakit ini, aku sudah membulatkan milikku. Waktu akan menentukan lampu hijau untuk kehidupan baru, untukku, yang siap menanti.
    “Nanti jadi kerumah lu?”
    “Iya, jam 10-an lah.” ujarku.
    “Oh yaudah, bentar lagi gua kesana, uhuk uhuk!”
    “Sakit lu? Yaelah cemen banget.” remehku.
    “Nggak, biasa kok, ntar juga mendingan.” Tenang Naufal sok kuat
    “Kalo udah deket, kabarin ya.”
    “Yo!”
    Mungkin harus kuralat, keuntungan ini akan dibagi dua, dengan Naufal tentunya. Sembari menunggu hadirnya, hanya seorang yang cukup gila untuk memperebutkan barang yang sekarang sungguh suci. Kubuka roomchat dengan si gila, dan memang dia benar-benar gila, seakan dia rajanya disini. Menawarkan permohonan, tidak berlaku untuk dunia saat ini. Hanya yang terkuatlah, yang bisa bertahan, sepertiku. Dengan cepat, kutolak permohonan si gila, dengan iming-iming barang yang kujual “barang suci” harus tepat sesuai nominal yang kuinginkan. Terlalu fokus dengan si gila, aku pun lupa, waktu belum mempertemukan aku dengan Naufal.
    Tidak kunjung diangkat, tentu hati ini bertanya-tanya. Dia bukan tipe yang tidak taat, jadi tidak mungkin kehadirannya tertunda selama ini didepan pintu singgasanaku. Aku dengannya tidak pernah khianat, tentu aku langsung menelusuri. Dengan jaket kusam yang kurang lebih dua minggu belum dicuci, juga senjata suci umat manusia saat ini, aku menantang dunia, hanya untuk mencarinya. Tidak sekali dua kali dia datang ke singgasanaku, membuatku hafal setiap langkah yang ia tapak untuk datang kesana. Tidak butuh dua menit, sosok itu, yang seharusnya hadir, berakhir tergeletak di antah berantah. Sigapku mendekatinya, cemas pun merasuki diriku karena menatapnya, sosok yang lemas terkapar.
    “Woy, kenapa lu?” tanyaku, tetap, tak kunjung satu kata pun tak terucap dari mulutnya.
    “Tunggu bentar ya disini, gua cari orang dulu!”yakinku.
    Mungkin cemas sekarang sudah mengendalikanku, bola mata ini tidak karuan untuk memandang seorang pun, ya, seorang pun, nihil, di saat sobatku bisa saja diujung tanduk, kenapa mereka semua menghilang? Haruskah kalian menghilang? Tampakkan satu saja dari kalian, tolong, satu saja.

     Lelah, penat, apapun itu, memuakkan. Kalian sungguh bajingan, disaat pertolongan kubutuhkan, kalian tetap menghilang. Aku sudah menawarkan pertolongan, tapi memang diselingi timbal balik. Apakah kalian marah karena itu? Hah? Sungguh lemah, hanya karena nominal dengan enam angka “0” dibelakangnya, nyali kalian ciut. Memang, di dunia yang kejam ini, harus kulakukan semuanya sendiri. Raga ini tak kunjung bertahan lama, si pengayom masyarakat pun tidak juga sedia membantuku, walau sudah memohon, dengan memukul keras pintu posko tempatnya bersantai, tak ada seorang pun. tetap tak ada.

    Selepas dari tempat memuakkan itu, pandanganku mulai kabur, paru-paru ini terasa aneh, sesak, entah karena berlarian, atau raga ini melemah, dengan berjuta-juta dari mereka yang siap bersarang dalam diri ini. Aku tidak bodoh, aku juga tidak ingin bertemu lebih cepat dengan Malaikat Izrail, juga dengan penciptanya. Masih ada Naufal yang harus kubantu, tunggu, Naufal, bangsat, aku lupa, keadaannya, bagaimana keadaannya, sudah berapa lama ini, tidak, aku belum boleh, bukan, tidak boleh menyerah, tidak juga akan kubiarkan satu diantara mereka bersarang ditubuhku, tidak akan.

    Sudah sejauh ini, sudah sejauh ini perjuanganku. Dugaanku salah, mungkin jutaan dari mereka sudah bersarang, bukan, mungkin menggerogoti dengan lahap raga ini. Apakah kamu sudah bertemu dengannya? Aku juga tidak tahu. Apakah aku akan bertemu dengannya? Aku juga tidak tahu. Kalau pun sudah diujung, aku mendapat pemandangan ini, hamparan jalan luas, kosong, sepi, sungguh hampa. Karena sudah sangat lemas, gravitasi mudah sekali untuk menjatuhkan raga ini. Kalau dipikir-pikir, senjata ini tidak sesuci seperti yang diperkirakan. Sungguh bajingan, aku hanya menjual kebohongan, pantas kalian tidak kunjung datang, membuatku merasakan kesal, bukan, penyesalan. Akankah waktu bisa kuputar kembali? kalau perlu, kubunuh diriku yang dulu juga tidak mengapa, karena semua kekacauan ini berawal darinya, Naufal tidak perlu datang kerumah, aku tidak perlu berlarian kesana-kemari seperti dikejar anjing, juga, tidak perlu merebah diri seperti ini, menunggunya untuk menjemputku, dan aku pun terdata dalam jumlah korban di berita esok hari. Seandainya, aku tidak serakus ini.

 


    “TIIIT…..TIIIIT….TIIIIT”
  Apa ini? Kurasakan kelembutan menyelimuti punggung ini, seingatku, tadi sangat keras, juga, sekarang sungguh berisik.
    “Halo?” sapaku dari alat genggam elektronik yang terus menyalak.
    “Woy Bi, jadi kerumah lu gak?”
    “Kerumah?”
    “Iya, kan kemaren lu bilang pengen bahas jual masker apa gitu.” Seru Naufal, yang berarti, dia masih belum pergi.
    “Sekarang jam berapa?”
    “Jam berapa? Jam 7 sekarang, gua dateng jam berapa nih?”perkataannya membuatku tersadar.
    “Gak usah dah.”
    “Hah? Beneran?”
    “Iya.”
    “Oh oke, yaudah ya”, tutup Naufal.
    Apakah dia mendengarku? Bahwa aku butuh kesempatan ini? Berarti, semua rentetan itu hanyalah bunga mimpi yang sial, atau mungkin, petunjuk darinya? Siapa yang tahu, bertanya padanya juga aku enggan. Yang pasti, semua ini tidak perlu terjadi, dan aku tidak perlu menjadi bajingan, dengan menjual sampah itu, merayu mereka, juga membuat sobatku sendiri menggantungkan nyawanya. Semua, karena aku, yang awalnya adalah bajingan.


Ditulis oleh Alif Wira Indano

 


Komentar

  1. nggak ketebak ending nya.... kerennn
    Beatrice A. H.

    BalasHapus
  2. iklimah
    - cerpennya keren, bahasanya sesuai dengan anak jaman sekarang mudah dipahami, kata kiasannya banyak, cerpennya asyikk nggak membosankan,, ajib bener dahhh

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KLAIM